Waktu SMP, gue pernah hampir membuat persahabatan dua orang temanku retak. Entah apa yang ada di otak mereka sampai mereka mau-maunya memperebutkan gue yang kalau di tempat keramaian kalian cari aja cewek pendek, kecil, kumel dengan rambut yang awut-awutan, yeaah...that’s me. Mereka mungkin agak dongo, karena dengan muka mereka yang bisa dimasukkan dalam kategori ganteng, mungkin mereka bisa cari yang lebih bagus jauh di atasku.
Ricky dan Angga, dua cowok itu memang sudah bersahabat sejak SD, katanya. Beruntung sekali mereka bisa ada dalam satu kelas di semester awal masuk SMP. Dua orang dengan sifat yang bertolak belakang, berbeda cara berpikir, berbeda kebiasaan serta sering pula berbeda pendapat tetapi terlihat sangat kompak dengan perbedaan keduanya. Mungkin itu yang membuatku tertarik akan kejujuran, kasih sayang diantara keduanya, serta kekompakan mereka.
Dua cowok dongo tapi kompak itu senang sekali mengambil tempat duduk di belakangku. Mungkin mereka suka melihat rambut gue yang awut-awutan dari belakang, atau mencium aroma tubuh gue yang engga pernah sama sekali pakai parfum atau pun deodorant. Sayang sekali mereka tidak pernah sadar bahwa sehari gue bisa kentut lebih dari sepuluh kali, atau mungkin mereka tidak sadar akan bau-nya karena aroma toilet pria yang kebetulan letakknya kebetulan di sebelah kelas kami lebih mendominasi.
Tanpa mereka sadari gue juga sering nguping pembicaraan mereka, mulai dari sekitar hobi mereka atau mereka sekedar nggosipin cewe-cewe populer di lingkungan sekolah, memaki-maki guru kami yang killer sampai pembicaraan seputar hal-hal yang lebih intim tentang cowo bahkan juga tentang hal-hal yang berbau “porno”. Oh My God.
“ Ngga, kenapa lo engga bikin komik aja?”tanya Ricky siang itu waktu pelajaran matematika sedang berlangsung.
Aku tau kebiasaan Si Angga kalo lagi pelajaran matematika, jari-jari tangannya akan menari-nari di atas kertas membuat sketsa yang tidak akan pernah kita duga.
“Belum waktunya.”jawab Angga singkat.
Keduanya terdiam.
Istirahat pun tiba, kurogoh saku kemejaku. Entah kenapa sering banget penyakit kanker alias kantong kering menderaku. Padahal Si Papa juga engga pernah telat ngasih uang saku.
“ Kantin, Put?”tanya Wike, teman sebangkuku.
“Libur ah, gue mau nyelesein baca komik aja di kelas.”
“ Bilang aja bokek, mamen.”katanya seakan bisa membaca pikiranmu.
Aku melengos,”Udah pergi sana.”
“Idih ngusir, engga mau dibeliin sesuatu nih?”
“Teh botol dong, haus gue.”
“Yeeeeee.”seru Wike lalu ngeloyor pergi meninggalkanku dengan sebuah komik doraemon keluaran yang baru gue beli minggu lalu.
Angga masuk ke dalam kelas lalu duduk di sebelahku.
“Serius amat, Non. Komik baru ya?”sapanya. aku hanya meliriknya dan mengangguk. “Eh kenal sama cewe di foto ini engga?”tanyanya sambil menunjukkan sebuah foto hitam putih berukuran 3x4 dengan wajah yang tidak asing di mataku.
“Sial, itu foto gue!! Dapet darimana Loe?”tanya gue pada cowok di hadapanku yang kini sedang memamerkan deretan giginya yang putih dan sempurna.
“Rahasia!!”serunya.
Gue menatap mata Angga penuh makna dan berusaha untuk meraih selembar foto memalukan itu dari tangannya.
“Eits, maaf ya, Non. Yang udah di tangan gue adalah hak milik gue.”
“Enak aja, balikin Angga!!!!!”seru gue.
Sial..
Itu foto gue waktu pertama kali masuk SMP ini. Dengan muka kucel siang itu gue dipaksa foto resmi sama si tukang foto. Gue tanya boleh engga gue senyum jawabnya “TIDAK”, gue tanya lagi bolehkah sedikit bergaya biar engga kaku, jawabnya “TIDAK”, lalu satu pertanyaan lagi jawabannya tidak bisa-bisa gue lempar pake piring tuh muka tukang foto. Alhasil hasilnya adalah gue dengan muka sedikit berminyak karena kepanasan di dalam studio foto yang kecil pengap bau dan tak ada satu pun Air Conditioner atau pun kipas angin di dalamnya dan mulut sedikit monyong karena sebel ngeliat muka Si Tukang Foto. Dasar tukang foto kere, pikirku waktu itu.
“Loe liat cewe yang ada di foto ini baik-baik. Cantik kan?”tanyanya.
Cantik dari hongkong. Dasar cowo dongo.
“Ikhlasin aja ya, gue suka loh foto loe waktu gini, lucu. Hahahaha.”serunya.
Speachless. Percuma aja merengek-rengek minta dibalikin, bakalan menghabiskan tenaga dengan uang saku yang tinggal hanya cukup dipakai buat naek bemo pulang sekolah ntar.
Seorang cewe dengan rambut sebahu dari kelas depan memandangi kami dari pintu kelasnya. Gue tau, cewe itu namanya Ine. Dia suka sama Angga. Sejak SD. Katanya. Gue tau semua itu dari Si Ricky, Gue juga tahu kalo Ine adalahs salahs atu anak cheers di sekolah gue. Yaaaa menurut Ricky sih pantas banget Ine buat Angga. Angga yang ganteng serta cerdas. Ine yang cantik dan populer.
Ine menyukai Angga sejak SD, sejak kelas 5. Ine banyak tau tentang Angga. Siapa tokoh kartun favorit Angga, apa makanan favorit Angga, apa juice kesukaan Angga. Siapa nama Ayah Angga, bekerja dimana, nama ibunya juga. Ine juga tau kalau Angga suka nongkrong di warung es campur deket sekolah sama temen-temennya. Ine tau kalau Angga berangkat dan pulang sekolah harus naek angkot. Tapi Angga, tak pernah menganggap kehadiran Ine.
Yaaaa....aku tau semuanya. Dari Ricky.
Angga dan Ricky suka sekali ngganggu gue waktu jam pelajaran. Entah itu narik-narik rambut gue yang awut-awutan, atau sekedar mencolek gue lalu keduanya pura-pura sibuk masing-masing dengan muka yang tak bersalah. Pernah waktu itu Wike berkata padaku.
“Mereka berdua pada suka sama Elo.”
“Ello penyanyi?”
Wike menoyor kepala gue.
“Elo tolol. Kamu!!!”
“Oh...”
Wike melengos.
Perkataan Wike engga pernah gue hiraukan. Tentang siapa saja yang pernah bilang ke dia kalo siapa saja itu suka sama gue. Gue ngerasa engga pantes aja buat mereka. Ahhh...siapa sih gue? Cuman cewe yang bermimpi menaklukan antariksa bersama nobita, doraemon dan kawan-kawan. Tapi di sisi lain, gue sering memperhatikan Kak Osa. Yaa, “Kak” karena dia sudah dua tingkat di atasku.
“Si Angga suka loh sama elo.”ujar Ricky siang itu tiba-tiba saat menemaniku membaca komik di dalam kelas. Si Angga sudah daritadi ngilang.
“Tau darimana elo?”
“Bego, gue kan sahabatnya.”jawabnya. yaaah...bego kenapa tak terpikirkan oleh gue sebelumnya.
Beberapa hari yang lalu gue potong rambut agak sedikit rapi, akibat pemaksaan oleh si Mama yang katanya udah sebel ngeliat rambut gue yang tak pernah rapi. Padahal menurut gue rambut gue biasa aja, sama kayak cewek laennya. Panjang terurai, tapi mungkin lebih keren menurutku karena jarang banget gue sisir.
Gue masih ingat komentar Angga.
“Ceile...potong rambut nih yee.”godanya pagi itu.
“Biar rapi kata mama.”
“Gitu kan cantik. Eh, tapi ko jadi kelihatan kayak Ine yaaa?”
“Ine? Cantikan gue tau!”
“Ah...cantikan Ine ah...”
Sebenernya gue agak sebel sama Angga. Gue benci banget di banding-bandingin sama cewe lain. Apalagi sama Ine. Nenek nenek bangkotan juga tau kalo Ine lebih cantik daripada gue. Dia anak cheer. Gue? Si upik abu yang mungkin lebih beruntung dari dia karena bisa dekat dengan Angga.
“Ah, engga mungkin. Dia suka sama Ine kan?”tanyaku melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda. Karena sejujurnya gue bingung harus ngomong apa.
“Dia suka elo. Sama seperti gue suka elo.”jawabnya.
Blam! Seperti ada beras satu ton yang menimpa kepala gue. Bukannya ge.er. Kan gue udah bilang dari awal kalo menurut gue mereka itu dua sahabat yang dongo. Meski pun gue masih belum seratus persen percaya sama omongan Ricky.
Keesokan harinya gue melihat ada yang beda dari mereka. Tapi gue engga berani bertanya. Hal itu pun berlangsung untuk keesokan harinya, hari berikutnya dan berikutnya lagi. Hingga gue pun merasa rindu. Rindu untuk nguping pembicaraan mereka yang bisa membuat gue tersenyum dan terhibur di tengah pelajaran yang membosankan. Rindu canda tawa mereka. Rindu keusilan mereka. Kejadian ini terjadi setelah Ricky menyatakan perasaannya secara tidak langsung siang itu ke gue. Dan gue rasa, gue adalah orang yang paling bertanggung jawab di dalamnya dan gue engga boleh diem gitu aja dan tidak mengambil tindakan karena gue wajib. Gue wajib mengembalikan situasi yang tidak enak ini. Gue wajib mengembalikan persahabatan mereka. Mungkin kesannya gue terlalu ge.er. Walau sempat terbesit rasa tertarik pada Angga, tapi persahabatan mereka lebih penting. Lebih penting dari perasaan ge.er gue, lebih penting dari rasa ketertarikan gue pada Angga, bahkan lebih penting dari segelas susu cokelat favorit gue.
Siang itu, seperti biasa Wike meninggalkanku ke kantin. Kulihat dua cowo dongo itu belum beranjak dari tempat duduknya. Dingin. Itu yang gue rasain waktu itu. Gue coba mencairkan suasana.
“Hei...ko sepi sih?”
Tak ada jawaban. Padahal mereka tau, di kelas hanya ada kita bertiga. Dan mereka tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti maksud ucapanku.
“ Rick, Ngga. Are you okay, guys?”tanyaku to the point.
Gue engga ingin membuang-buang waktu. Sekali lagi gue tekankan, bahwa persahabatan mereka sangat penting di mata gue.
“Oke, fine!!”seru gue setengah membentak, gue tau keduanya agak sedikit terkejut tapi mereka cukup pintar untuk menyembunyikannya. Angga beranjak dari tempat duduknya.
“Mau kemana, Ngga?”tanya gue.
“Kantin. Laper.”
“Duduk, ada yang pengen gue omongin kalo elo masih nganggep gue temen elo.”
Angga nurut aja, Ricky mulai salah tingkah. Sepertinya dia tau akan mengarah ke mana omonganku..
“Gue rindu...”desahku.
Hening.
“Gue rindu kalian berdua yang kemaren, gue rindu guyonan kalian, gue rindu kalian ngusilin gue. Gue rindu...”
Kembali hening.
“Kalian ada masalah apa sih? Apa yang bisa gue perbuat biar kalian kembali kayak kemaren?”tanya gue.
“Elo harus bikin keputusan.”jawab Ricky lirih.
“Gue? Kenapa gue? Kalian yang punya masalah? Kenapa gue?”
KENAPA GUE ? Itulah pertanyaan yang kulontarkan pada mereka bertubi-tubi
Hening lagi.
“Kenapa Gue?? Jawab doooong!!”kali ini gue sedikit membentak. Rasa rindu dan muak gue berkecamuk menjadi satu membentuk sebuah perasaan emosi.
“KARENA KITA SUKA SAMA ELU, JADI ELU KUDU BIKIN KEPUTUSAN MILIH SALAH SATU DIANTARA KITA!!!!”seru Angga.
Terkejut. Rasanya jantung ini ingin meloncat dari tempatnya.
“Lu bisa engga sih ngomong lebih sopan?”marah Ricky.
“Ini semua gara-gara elu. Gue kan yang cerita dulu kalo gue suka sama dia.”
“Tapi sebelum elu cerita gue juga suka sama dia.”
“Gue kira elu sahabat yang baek.”
“Sudah sudah STOOOOP!!”teriakku, kini tak ada lagi guyonan. Gue bener-bener muak waktu itu dengan mereka. Mereka hanya memperebutkan sesuatu yang engga pantes buat direbutin. Gue sedih, juga kasihan pada mereka. Sebenernya gue pengen banget tereak, “Gue pilih elo, Ngga!” tapi sekali lagi, persahabatan mereka lebih penting dari perasaan gue. Gue engga tau jadi apa nantinya persahabatan mereka jika gue pilih salah satu dari mereka. Tapi gue yakin, persahabatan mereka tak akan sesolid sebelumnya.
“Oke! Gue buat keputusan sekarang. Gue cuman bisa nganggep kalian temen. Engga lebih. Please, hentikan sikap kekanak-kanakan kalian.”jawab gue. Yaaah, terkadang gue bisa bersikap lebih dewasa dalam keadaan genting seperti ini.
“Jadi elo engga bakalan milih salah satu dari kami?”tanya Ricky.
“Berteman lebih indah, guys.”kata gue, sok. “Apa kalian mau mengorbankan persahabatan kalian cuman demi gue? Kalo gue jadi kalian, jawabannya adalah TIDAK. Kalian pengen ngeliat gue bahagia kan?”tanya gue. Mereka mengangguk, “Kembalilah, kembalilah jadi kalian yang kemaren. Karena kebahagiaan gue adalah saat melihat persahabatan kalian.”
Ricky tersenyum, dan tak lama kemudian Angga tersenyum.
“Maafin gue, Rick.”
“Maafin gue juga, Ngga.”
Gue tersenyum.
Dan memang terkadang cinta dapat membuat kita buta, buta akan segalanya. Bahkan cinta dapat membuat kita akan berubah dalam lima detik. Tapi persahabatan adalah kekal. Persahabatan artinya kasih sayang. Dan kasih sayang adalah penengah dari dua perbedaan hingga menjadikan perbedaan adalah seusatu yang indah.Itulah pelajaran yang gue dapet dari mereka berdua.
2 omelan:
salam sobat
benar mba, berteman itu indah dan merasa nikmat hidup kita dengan kebersamaan.
trims kunjungan dan follownya.
saya juga sudah ada di follower sini.
Bener mbak putri..
persahabatan tidak menganal batas.. :D
Post a Comment